Pintu-Pintu Masjid Nabawi

Ketika Nabi berhijrah ke Madinah, beliau membangun masjid dengan tiga pintu.


Pertama, pintu bagian selatan saat kiblat masih menghadap Baitul Maqdis di arah utara. Kedua, pintu di bagian timur yang dinamakan dengan Bab Nabi, juga disebut dengan Bab Utsman, yang kemudian dikenal dengan sebutan Bab Jibril. Ketiga, pintu di sebelah barat yang dinamakan dengan Bab Atikah karena dekat dengan rumah Atikah binti Abdullah bin Yazid bin Muawiyah.

Sekarang pintu itu terkenal dengan nama Bab Ar-Rahmah. Bersamaan dengan perubahan arah kiblat, pintu bagian selatan diubah, sehingga berada di bagian utara Masjid Nabawi. Kedua kusen pintu bangunan ini menggunakan batu.

Ketika memperluas Masjid Nabawi, Khalifah Umar bin Khathab RA menambahkan tiga pintu, sehingga masjid ini memiliki enam pintu. Dua pintu berada di bagian timur, yaitu Bab Jibril dan Bab An-Nisa’. Pintu kedua disebut dengan Bab An-Nisa’ karena perkataan Umar, “Andai saja kalian peruntukkan pintu ini untuk para wanita.” Dua pintu lagi berada di bagian barat, yaitu Bab Ar-Rahmah dan Bab As-Salam. Dua pintu lainnya berada di bagian utara yang tidak bernama.

Sementara pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, pintu-pintu Masjid Nabawi tetap sebagaimana pada masa Umar bin Khathab. Perluasan kembali dilakukan pada masa Al-Mahdi Al-Abbasi (161-165 H), jumlah pintu ditambah menjadi 24 pintu: 8 pintu di bagian timur, 8 pintu di bagian barat, 4 pintu di bagian utara, dan 4 pintu di bagian selatan.

Pada masa Mamalik, sebagian besar pintu ini ditutup dan hanya 4 pintu utama yang dirawat serta dijaga; Bab Jibril, Bab An-Nisa’, Bab As-Salam, dan Bab Ar-Rahmah. Pintu yang paling panjang dan indah adalah Bab As-Salam. Pintu ini memiliki daun pintu yang terbuat dari kayu. Di atasnya terdapat ukiran dari tembaga kuning. Pada saat melakukan perluasan terhadap Masjid Nabawi, Sultan Abdul Majid (1265-1277 H) menambah 5 pintu di bagian utara yang dikenal dengan Bab Al-Majid atau Bab At-Tawasul.

Perluasaan Saudi pertama tetap menjaga kelima pintu ini dan menambahkan 5 pintu yang serupa. Yaitu, Bab Malik Abdul Aziz, terletak di bagian sayap timur pemisah antara dua halaman; Bab Malik Sa’ud yang berhadapan dengan Bab Malik Abdul Aziz di bagian barat; Bab Utsman dan Bab Umar yang berada di bagian utara Masjid Nabawi.

Pada tahun 1408 H, pada masa Raja Fahd bin Abdul Aziz, dibukalah pintu baru di bagian timur bangunan Sultan Abdul Majid yang dinamakan dengan Bab Baqi’ dan terletak berhadapan dengan Bab As-Salam. Perluasan oleh Raja Fahd memasukkan sejumlah pintu modern ke dalam bagian pembangunannya. Yaitu Bab Umar, Bab Utsman, Bab Al-Majid, Bab Malik Abdul Aziz, dan Bab Malik Sa’ud. Pada bangunan yang baru, dibangun pula 7 gerbang masuk yang luas: 3 di bagian utara, 2 di bagian selatan, dan 2 di bagian barat.
Di setiap gerbang terdapat 7 pintu; 2 pintu saling berjauhan, dan di antara kedua pintu itu terdapat 5 pintu yang saling berdampingan. Pintu-pintu ini dibuat dari kayu yang diproduksi oleh pabrik kayu terbaik di dunia. Satu kayu lebarnya mencapai 3 meter. dan tingginya 6 meter, dilapisi dengan perunggu (bronz), sehingga terlihat sangat serasi dan indah. Di tengahnya tertulis dalam bahasa arab “Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam”, pada bagian atasnya terdapat panel batu tertulis firman Allah “Udkhuluha bisalamin aminin” (Masuklah ke dalamnya dengan aman sentosa).

Mihrab-Mihrab Masjid Nabawi

Menurut bahasa, al-mihrab berarti bagian depan dan tempat paling utama dari bangunan rumah, atau tempat shalat imam dalam masjid. Kata mihrab disebutkan empat kali dalam Alquran.

Nabi pernah shalat menghadap Baitul Maqdis sekitar 16 atau 17 bulan. Setelah beliau hijrah ke Madinah, kiblat masjid berada di bagian belakang, dari arah utara berhadapan dengan pintu Utsman di dekat pilar kelima, sebelah utara Pilar Aisyah RA.

Setelah kiblat berpindah ke Masjidil Haram, beliau pun memindahkan kiblat masjid dari utara ke bagian selatannya. Beliau shalat di dekat Pilar Aisyah selama dua atau empat bulan, kemudian maju ke Pilar Al-Mukhallaqah dan shalat di sana selama beberapa hari. Tempat shalat beliau ini akhimya dibangun menjadi mihrab.

Ketika Umar bin Khathab melakukan perluasan masjid, mihrab dipindahkan ke ujung bangunan baru di arah selatan. Tatkala Utsman melakukan perluasan masjid, mihrab dipindahkan lagi, dan mihrab inilah yang ada sampai sekarang. Di masa Nabi, Khulafaur Rasyidin, dan setelahnya, mihrab masjid belum berbentuk ruangan cekung di tembok.

Berbagai referensi sejarah menyatakan bahwa mihrab yang berbentuk ruangan cekung di tembok baru mulai ada pada masa pemerintahan Al-Walid bin Abdul Malik dari Bani Umayah pada tahun 88-91 H/707-710 M. Al-Walid memerintahkan Gubernur Madinah saat itu, Umar bin Abdul Aziz untuk merenovasi masjid. Jadi, mihrab Masjid Nabawi sebelum renovasi pada masa Al-Walid adalah tempat biasa, tidak ada penanda khusus di dinding kiblat dan tidak ada ruangan berbentuk cekung di tembok.

Ini berdasarkan perkataan Umar bin Abdul Aziz, “Berkumpullah! Hadirilah pembangunan mihrab agar kalian nanti tidak berkata, ‘Umar telah mengubah mihrab kita!” Lalu, setiap kali mengambil batu dari susunan bangunan mihrab, dia pasti meletakkan batu yang lain untuk menggantikan posisinya.

Dalam perkembangannya, kaum Muslimin menghiasi mihrab-mihrab masjid dengan hiasan-hiasan islami, seperti kaligrafi ayat-ayat Alquran yang diletakkan di bagian depan masjid. Ini sesuai dengan makna kata al-mihrab sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Juga bertujuan untuk memberi penanda khusus arah kiblat yang wajib dituju ketika shalat.
Beberapa Mihrab Masjid Nabawi:
        Mihrab Nabi yang berada di Raudhah, di sebelah kiri mimbar.
        Mihrab Utsman, yaitu dinding di arah kiblat masjid, tempat shalat imam sekarang.
        Mihrab Sulaiman, dikenal juga dengan nama mihrab Al-Hanafi yang terletak di sebelah barat mimbar.
        Mihrab Fathimah, terletak di selatan mihrab Tahajud di dalam Al-Maqshurah.
        Mihrab Syekh Al-Haram, terletak di belakang Dakkah Al-Aghwat, dibangun ketika masjid mengalami perluasan pada masa  Sultan Abdul Majid.

Pilar-Pilar Utama Masjid Nabawi

Berikut ini pilar-pilar utama Masjid Nabawi:
1. Pilar Al-Mukhallaqah: tiang yang melekat pada mihrab Nabi SAW di arah kiblat. Dinamakan Al-Mukhallaqah yang berarti ‘harum’ karena Nabi pernah melihat dahak di tiang tersebut sehingga merasa tidak nyaman. Beliau lalu membersihkan dan memberikannya wewangian, dan beliau merasa senang dengan hal itu.

2. Pilar Aisyah: tiang yang berada di tengah Raudhah. Dulu, Nabi menjadikannya sebagai tempat shalat sesaat setelah kiblat dipindah ke Masjidil Haram.

3. Pilar At-Taubah: dinamakan juga dengan Pilar Abu Lubabah. la adalah pilar keempat dari sebelah timur mimbar. Dinamakan demikian karena seorang sahabat bernama Abu Lubabah Al-Anshari mengikat dirinya di tiang tersebut sebagai bentuk pertaubatan kepada Allah atas dosa yang dilakukannya, kemudian akhirnya dia dilepaskan.

4. Pilar As-Sarir: tiang yang menempel dengan jendela kamar Nabi dari arah selatan. Dinamakan Pilar As-Sarir yang bermakna ‘alas tidur’ karena ketika Nabi i’tikaf di masjid, di dekat tiang itu diletakkan alas tidur beliau.

5. Pilar Al-Mahras atau Al-Hars: pilar yang terletak di belakang Pilar At-Taubah di sebelah utara. Disebut dengan Al-Mahras yang artinya ‘tempat penjagaan’ karena dulu para sahabat duduk di dekat pilar tersebut untuk menjaga Nabi.

6. Pilar Al-Wufud: tiang yang menempel dengan jendela kamar Nabi SAW. Disebut demikian yang artinya ‘tamu utusan’ karena dulu Nabi duduk di dekat pilar itu ketika menerima utusan dari kabilah-kabilah Arab yang datang kepadanya.

7. Pilar Murabba’ah Al-Qabr: bermakna ‘segi empat di dekat makam’. Sebab, pilar ini terletak di barat laut kamar Rasulullah.

8. Pilar Tahajud: pilar yang berada dekat dengan tempat Rasulullah SAW melaksanakan shalat Tahajud.

Kubah-Kubah Masjid Nabawi

Halaman Masjid Nabawi dihiasi beberapa kubah indah yang memancarkan kesan sakral dan penuh keagungan.

Kubah pertama yang dibangun di Masjid Nabawi berada di atas kamar Rasulullah pada abad ke-7 H atas perintah Sultan Al-Manshur Qalawun Ash-Shalihi dari Dinasti Mamalik, tepatnya tahun 678 H. Kubah tersebut kemudian dikenal dengan nama Kubah Hijau.

Dari bawah, kubah tersebut berbentuk persegi empat, sedangkan dari atas berbentuk persegi delapan. Kubah Hijau itu terbuat dari kayu-kayu yang ditegakkan di atas tiang-tiang bangunan kamar Rasulullah, dan dilapisi lempengan-lempengan timah agar air hujan tidak merembes ke dalam kamar beliau.
Pada tahun 881 H, setelah masjid direnovasi, Sultan Qait Bay memutuskan untuk menghilangkan atap kayu kamar Nabi SAW dan menggantinya dengan kubah tipis. Setelah itu, dipasang kubah di atas kamar beliau kira-kira menutupi sepertiga luasnya, mulai dari timur makam bagian kaki.
Lalu dipasang kubah untuk menutupi kamar dari arah barat, juga kubah lain dari arah makam bagian kepala dengan bebatuan berwarna hitam dan putih yang diukir. Di atas kubah, dipasang lambang bulan sabit dari kuningan. Kubah tersebut dipoles dengan kapur sehingga berwarna putih dan menjadi indah.
Kubah ini selamat dari kebakaran yang melanda Masjid Nabawi pada tahun 886 H, tetapi kubah di atasnya terbakar. Karenanya, Sultan Qait Bay melakukan renovasi pada tahun 892 H dan membangun lagi kubah itu dengan batu bata, juga memasang tiang-tiang penyangga. Sesaat kemudian, terlihat retakan di bagian atas kubah, perbaikan pun dilakukan lagi hingga benar-benar menjadi kukuh.
Selanjutnya, di atas Mihrab Utsman juga dibangun kubah, atap di antara Kubah Hijau dan dinding bagian barat juga dibangun kubah besar yang dikelilingi tiga kubah. Di atas Bab As-Salam bagian dalam juga dibangun dua kubah. Kubah-kubah tersebut dilapisi marmer berwarna hitam dan putih, lalu diberi berbagai macam hiasan.
Pada tahun 1119 H, Sultan Mahmud I menambahkan barisan tiang yang menopang atap di arah kiblat masjid, beberapa kubah juga dipasang di atasnya. Tahun 1228 H, Sultan Mahmud II memperbarui kubah di atas makam dan mengecatnya dengan wama hijau sehingga kubah itu terkenal dengan nama Kubah Hijau, padahal sebelumnya dikenal dengan nama Kubah Putih atau Biru. Beberapa orang menamainya dengan Kubah Al-Faiha’ (kubah yang luas).

Kemudian Sultan Mahmud II berencana menutupi seluruh atap masjid dengan kubah, namun tidak dilaksanakan karena khawatir pembangunan kubah-kubah itu bisa merusak Kubah Hijau. Masjid masih dalam kondisi seperti itu hingga masa Sultan Abdul Majid.

Pada tahun 1264-1277 H, seluruh atap masjid ditutup kubah yang dilapisi lempengan- lempengan timah. Saat itu jumlah kubah mencapai 170 buah. Kubah tertinggi adalah Kubah Hijau, lalu kubah di atas Mihrab Utsman, kubah di atas Bab As-Salam, dan kubah-kubah yang lain ketinggiannya hampir sama. Sebagian kubah ada yang dilengkapi dengan jendela-jendela dari kaca berwarna, di dalamnya dihiasi dengan beragam ukiran dan kaligrafi Alquran yang sangat indah.

Sejak awal berdirinya Kerajaan Arab Saudi hingga sekarang, telah dilakukan renovasi terhadap kubah-kubah masjid berkali-kali. Renovasi terakhir dilakukan pada masa Khadim Haramain Raja Fahd bin Abdul Aziz pada tahun 1404 H saat warna timah telah berubah. Warnanya pun kemudian dipoles lagi agar tampak seperti semula.

Menara Adzan Masjid Nabawi Pada Masa Rasulullah

Pada masa Nabi SAW, sebelum ada syariat adzan, muadzin Rasulullah menyeru kaum Muslimin dengan seruan, “Ash-Shalatu jami’ah (mari shalat berjemaah)!”
 
Kaum Muslimin pun segera berkumpul. Adzan baru disyariatkan ketika arah kiblat dipindah ke Ka’bah. Rasulullah sangat memerhatikan masalah adzan ini.

Saat itu, sebagian kaum Muslimin mengusulkan agar ada media guna menyeru orang-orang untuk shalat berjamaah. Sebagian mengusulkan terompet, sebagian lainnya menyarankan lonceng.

Pada saat demikian, Abdullah bin Zaid Al-Khazraji datang pada Rasulullah SAW dan berkata, “Tadi malam aku bermimpi. Ada seorang pria berpakaian hijau membawa lonceng di tangannya. Aku pun bertanya, ‘Apakah engkau menjual lonceng itu?’ Dia balik bertanya, ‘Untuk apa?’ Aku menjawab, ‘Untuk memanggil orang-orang shalat berjamaah. ’ Dia berkata, ‘Maukah kuberi tahu media yang lebih baik daripada lonceng?’ Aku bertanya, ‘Apa itu?’ Dia mengatakan, ‘Serukanlah Allahu Akbar, Allahu Akbar—hingga akhir adzan.”
Mendengar cerita itu, Rasulullah SAW bersabda, “Insya Allah, mimpi itu benar. “Berdirilah bersama Bilal. Ajarkanlah adzan itu padanya. Suruh dia menyeru orang-orang dengan lafaz-lafaz adzan itu. Sebab, suaranya lebih keras daripada suaramu.”
Ketika Bilal mengumandangkan adzan, Umar bin Khathab mendengar seruan itu dari rumahnya. Dia pun segera pergi menemui Rasulullah. Umar berkata, “Wahai Nabi Allah, demi Dzat yang telah mengutusmu dengan benar, aku telah bermimpi seperti mimpi yang dialami Abdullah bin Zaid Al-Khazraji.”

Mendengar itu, Nabi SAW berkata, “Segala puji bagi Allah, hal itu lebih menguatkan.”

Pada masa Rasulullah, Masjid Nabawi—begitu pula pada masa Khulafaur Rasyidin—belum memiliki menara adzan yang bisa dinaiki oleh muadzin untuk mengumandangkan adzan. Dulu, Bilal bin Rabah mengumandangkan adzan Subuh dari atas rumah salah seorang wanita Bani Najjar.

Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Urwah bin Az-Zubair, dari seorang wanita Bani Najjar yang berkata, “Rumahku adalah bangunan paling tinggi di sekitar masjid. Setiap pagi, Bilal mengumandangkan adzan Subuh dari atas rumahku. Pada waktu sahur, Bilal datang. Lalu dia duduk di rumah menunggu fajar. Ketika sudah melihat fajar, dia menegakkan badannya kemudian berdoa, ‘Ya Allah, sungguh aku memuji-Mu dan meminta pertolongan-Mu dari kaum Quraisy untuk menegakkan agama-Mu.’ Setelah itu dia mengumandangkan adzan.”

Para ahli sejarah menyebutkan bahwa dulu Bilal mengumandangkan adzan di atas tiang di rumah Abdullah bin Umar. Bilal naik ke tangga ketujuh tiang itu di samping Masjid Nabawi.

Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa kebutuhan untuk mengumandangkan adzan dari tempat tinggi mendorong kaum muslimin di Madinah memindahkan adzan dari atap masjid ke atap rumah sekitar masjid yang lebih tinggi. Kemudian mereka kembali menggunakan atap masjid dengan menambah ketinggiannya. Setelah itu, mereka membangun menara adzan yang berbeda-beda ketinggiannya.

Masjid Al-Jum’ah

Ketika Rasulullah berhijrah, beliau masuk di perbatasan Madinah pada hari Senin, Rabiul Awwal, 1 H. Saat itu beliau singgah di Quba selama empat hari hingga Jumat pagi, bertepatan dengan tanggai 16 Rabiul Awwal pada tahun yang sama.
Beliau kemudian melanjutkan perjalanan menuju Madinah. Tidak jauh dari Quba, waktu shalat Jumat telah masuk. Beliau pun shalat di Wadi Ranuna. Di tempat shalat Jumat Rasulullah itu kemudian dibangun Masjid Al-Jum’ah (Jumat). Masjid tersebut dibangun dari pecahan bebatuan.
Pembangunan Masjid Al-Jum’ah ini diulang beberapa kali hingga tahun 1409 H. Raja Fahd bin Abdul Aziz memerintahkan perluasan bangunan dengan merobohkan masjid lama, kemudian dilengkapi beberapa fasilitas pendukung, seperti asrama untuk imam dan muadzin, perpustakaan, madrasah menghafal Alquran, mushala untuk wanita, tempat wudhu, dan toilet.
Akhirnya, Masjid Al-Jum’ah mampu menampung 650 jamaah, padahal dulu tidak mampu memuat lebih dari 70 jamaah. Masjid ini memiliki menara tinggi yang sangat indah dan kubah utama tepat di atas area shalat bagian tengah, ditambah dengan empat kubah kecil.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Wiratmajaty
Design Downloaded from Free Blogger Templates | free website templates | Free Vector Graphics | Web Design Resources.